Breaking News
Loading...
Thursday, January 7, 2010

Info Post

Dunia roda dua khususnya bisnis variasi lagi gonjang-ganjing. Pasalnya saat ini sudah disahkan Undang Undang No. 22 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Inilah peraturan baru yang menggantikan UU No. 14 1992.

Kenapa UU baru itu bisa begitu meresahkan? "Sebab pelaksanaan di lapangan masih belum jelas, sehingga sepertinya banyak aparat yang melakukan razia terhadap sesuatu hal yang kita yakini masih benar," kata Sendy Gienardy pemilik Sendy Motor di Luwuk, Sulawesi Tengah.


Pemilik toko variasi ini langsung merasa omsetnya menurun drastis. "Sebab sekarang banyak yang kembali ke tampilan standar sehingga dagangan kita jadi enggak laku," lanjutnya.

Tentu bukan tanpa sebab. Konon di wilayahnya pihak polisi melakukan razia motor yang menggunakan variasi pengganti komponen standar. "Bahkan pakai spion variasi juga ditilang selain yang pakai knalpot racing," tambahnya sambil ngomong kalau alasan aparat dalam menindak adalah UU yang baru disahkan tadi.

Hal sama juga disampaikan Hendriansyah, juragan produk berlabel HRP. "Saat ini memang volume perdagangan jadi jauh menurun," kata pria yang juga berjulukan dewa road race ini. Sebagai brand terkenal penghasil knalpot tentu saja indsutri Hendri menjadi sangat terpukul.

"Saat ini memang sudah ada razia seperti itu di seputaran Jogja. Bahkan akhir-akhir ini termasuk sering di kawasan Solo," lanjutnya. Hendri berkeluh kesah jika hal ini terus berlanjut maka bisa-bisa mereka yang bergerak di bisnis ini akan gulung tikar.

Satu lagi pedagang yang mengeluhkan kondisi akhir-akhir ini adalah Johny Lipurnomo yang banyak mengimpor variasi dari Thailand dan Taiwan. "Memang banyak keluhan dari konsumen . Masak iya ganti spion aja kena tilang," tanya Johny bingung.

Padahal menurut pria yang punya bendera Custom World ini, spion menjadi item pertama yang dilakukan penggantian oleh pemilik motor. Setelah itu baru diikuti knalpot dan lain-lain.

Sebenarnya bagaimana sih masalah ini sesuai yang diamanatkan UU tadi? Mari kita periksa pasalnya satu per satu.

Dimulai dari pasal 48 yang membahas mengenai persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor. Ayat 2 menjelaskan yang dimaksud persyaratan teknis adalah; susunan, perlengkapan, ukuran, karoseri, rancang teknis, pemuatan.

Sementara ayat 3 nya menjelaskan bahwa laik jalan adalah kinerja minimal kendaraan bermotor yang sekurang-kurangnya diukur atas; emisi gas buang, kebisingan suara, efisiensi rem, kincup roda depan, suara klakson, daya pancar dan arah sinar lampu utama, radius putar, akurasi alat penunjuk kecepatan, kesesuaian
kinerja roda dan kesesuaian daya mesin penggerak terhadap
berat kendaraan.

Sebenarnya jika pasal ini yang dijadikan alasan penilangan oleh aparat seharusnya mereka melihat lagi bunyi ayat 4 masih dari pasal yang sama. Ayat 4 ini berbunyi ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan laik jalan sebagaimana dimaksud ayat 2 dan 3 diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).

Sampai saat ini belum ada PP yang menindaklanjuti aturan tadi. Misalnya saja mengenai kebisingan, tingkat emisi gas buang, klakson, hingga kembangan ban dan arah lampu tadi. Jadi jika aparat langsung menindak dengan landasan pasal ini, maka itu bisa dikatakan belum tepat karena PP mengenai aturan tersebut belum ada. Jadi pasal ini belum bisa dikenakan terhadap pengendara.

Karena itu jika PP-nya akan dibuat, ada baiknya pemerintah mendengarkan dulu aspirasi para pengguna motor, pengusaha, dan semua pihak yang terlibat dalam industri ini. "Sebab mengenai tingkat kebisingan itu harus tanya sama kita yang memproduksi knalpot. Kita akan taat aturan kok jika peraturannya jelas mengenai itu," lanjut Hendri.

Meskipun PP-nya belum ada, sangsi yang akan diberikan sudah tertuang jelas. Hal itu jelas dibaca pada pasal 285. Pasal ini berbunyi, Setiap orang mengemudikan sepeda motor di jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, knalpot dan kedalaman alur ban sebagaimana dimaksud pasal 106 ayat 3 jucto pasal 48 ayat (2) dan (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Sekali lagi perlu dipahami bahwa sangsi ini baru bisa dilaksanakan jika PP yang menjadi syarat seperti disebutkan pasal 48 tadi harus dibuat terlebih dahulu. Jika tidak maka aturan in hanya akan menjadi pasal karet sebab tidak ada angka dan kondisi pasti mengenai kelaikan jalan tadi. Misalnya saja PP itu nantinya harus menyebutkan arti kaca spion yang laik, lampu yang laik, kondisi knalpot yang legal dan masih banyak item di motor yang memang perlu mendapat kepastian tentang kondisi boleh atau tidak bolehnya
digunakan.

Salah satu upaya untuk menjembatani semua permasalahan itu, para produsen variasi membentuk Asosiasi Pedagang Variasi (APV). Asep Hendro yang didaulat jadi ketua APV mengatakan perlunya standarisasi untuk variasi. Misal, kebisingan knalpot. Ada alat ukur yang dipakai untuk menentukan melanggar aturan atau tidak. “Pemerintah pastinya juga punya standar yang diadopsi dari standar internasional. Kira-kira berapa desibel. Jangan asal tilang, aparat bisa dituntut balik,” papar Asep yang juga merasa penjualan knalpotnya ikutan ngedrop.

APV mengusulkan adanya SNI (Standar Nasional Indonesia) seperti yang diberlakukan pada helm. Sehingga perlengkapan variasi yang dapat menggangu keselamatan berlalu lintas itu perlu diperjelas lagi. Sebab bisa saja satu variasi bagi si pemiliknya tidak berbahaya tapi menurut aparat bisa mengganggu. Karena belum adanya kejelasan definisi ini maka pemerintah harusnya segera mengeluarkan petunjuk pelaksaannya atau PP tambahan.

ASAL SESUAI SPEK3541img_3171.jpg

Brigjend (Pol) Sulistyo Ishak, Wakadiv Humas Polri mengatakan aturan UU No. 22 tahun masih tahap sosialisasi. “Untuk menegakkan aturan ada beberapa tahapan. Yakni sosialisasi, persuasif, terakhir baru represif berupa penilangan. Jadi, petugas tidak boleh melakukan langkah terakhir dulu,” jelas pak polisi ramah ini.

Pria yang pernah menjabat sebagai direktur lalu lintas Polda Metro Jaya ini mengungkapkan, perlunya aturan yang lebih jelas soal penggunaan komponen yang sudah tidak standar lagi. “Selama tidak menyalahi aturan spesifikasi teknis yang telah ditentukan, boleh saja menggunakan komponen lain. Asal legal dan tidak membahayakan,” papar bapak berkacamata itu.

Sulistyo juga menyarankan proses pengawasan terhadap barang variasi sebaiknya dilakukan sejak di hulu. “Saat barang itu dibikin produsen. Bukan ketika variasi itu sudah jadi. Sehingga tidak menyulitkan petugas di hilir. Semua pihak mulai dari departemen terkait harus berperan di sana,” ungkap polisi berpangkat bintang satu ini.

0 comments:

Post a Comment